Berkah dari Berkhidmah
Pada dasarnya, dikenal kyai ataupun tidak, bukanlah hal utama selama tali persambungan antara guru tetap terjaga, meski tidak harus bertatap muka. Namun, ada perasaan bungah (gembira) yang tak bisa digambarkan, bilamana bisa langsung berhadapan tanpa perlu memperkenalkan diri sebelumnya.
Bertempat di gedung Aula Muktamar, pernikahan gus Muhammad Hilmi Biknada (akrab kami sapa "cak/mas Ami") dengan neng Karin dari pesantren Besuk, Pasuruan. Deretan tamu undangan penting, tentunya dari para Dzurriyah Bani Abd Karim, dari teman seangkatan cak Ami, para mustahiq (guru kelas), hingga deretan alim ulama alumni Lirboyo sendiri, seperti KH. Muhibbul Amany, gus Yusuf Chudhori serta lainnya. Nampak pula KH. Ubab Maemon, pun juga turut hadir, khodimul majlis Sabilu Taubah, gus Iqdam.
Bangku deretan kami, para khodim al-Maghfurlah KH. Habibullah Zaini, abah dari cak Ami. Undangan kami cukup sederhana dan mudah. Pantau group alumni dalem, lihat info pernikahan putra guru kami.
Begitulah santri khodim, atau santri dalem para masyayikh. Hal itu berlaku pada semua khodimin dan khodimat. Kedekatan seorang kyai dengan santri dalem, tidak sekedar santri dan guru, melainkan hampir menyamai kedekatan orang tua dengan anak.
Memang, pada waktu berkhidmah dulu, harus bertarung dengan waktu. Belajar dan bekerja (sesuai profesi yang diamanatkan) full. Berusaha memanfaatkan waktu istirahat untuk belajar. Berjibaku dengan lelah bekerja dan berusaha untuk tetap menghafal pelajaran. Bahkan saat liburan, disitulah waktu menuntaskan tulisan dan hafalan. Tak ada jadwal pukam.
'Ala kulli hal, alhamdulillah. Pasca purna dari Pesantren, tidak perlu repot lagi untuk menghaturkan sowan. Hingga undangan acara pernikahan. Kendati demikian, penghormatan pada masyayikh lainnya, para pendidik kami dikelas kala itu, tetap tidak boleh ditinggalkan.
Komentar
Posting Komentar