Hukum Sholat Jum'at Bertepatan Dengan Hari Raya Dalam Perspektif Fiqih Empat Madzhab
*Oleh : Lutfi Hadayatul Amri
Teropongargopuro.blog.com: Ketika Hari Raya Idul Adha maupun Idul Fitri jatuh pada hari Jumat, fenomena ini dapat dikatakan sebagai "Hari Raya Ganda" (Idain). Dalam kondisi ini, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai kewajiban sholat Jumat.
Perbedaan ini bersumber dari interpretasi terhadap beberapa teks hadis Nabi Muhammad SAW. Berikut diantara hadits yang menjelaskan akan hukum sholat Jum'at manakala bersamaan dengan jatuhnya hari raya.
Hadis dari Zaid bin Arqam RA:
Rasulullah SAW bersabda: "Telah berkumpul pada hari kalian ini dua hari raya. Maka barang siapa yang berkehendak (untuk shalat Jumat), maka shalat Id itu telah mencukupinya dari shalat Jumat. Akan tetapi kami akan tetap melaksanakan shalat Jumat." (HR. Abu Dawud, An-Nasa'i, Ibnu Majah, dan Ahmad).
Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi SAW memberikan keringanan bagi sebagian orang untuk tidak sholat Jumat jika mereka telah melaksanakan sholat Id. Namun, beliau sendiri dan sebagian sahabat tetap melaksanakannya.
Hadis dari Ibnu Umar RA:
"Dua hari raya pernah terkumpul dalam sehari di zaman Rasulullah SAW. Kemudian beliau mengimami shalat Id, dan berkhutbah: "Siapa yang ingin jumatan, silakan datang jumatan. Siapa yang ingin tidak hadir jumatan, boleh tidak hadir." (HR. Ibnu Majah).
Sementara para ulama dari berbagai mazhab fiqih memiliki pandangan yang beragam dalam menginterpretasikan hadits di atas:
Mazhab Syafi'i dan Hanafi:
Mayoritas ulama dari mazhab ini berpendapat bahwa shalat Jumat tetap wajib dilaksanakan meskipun telah menunaikan sholat Id. Sholat Id adalah sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan), sementara sholat Jumat adalah fardhu 'ain (wajib bagi setiap individu laki-laki muslim yang mukallaf dan memenuhi syarat). Mereka berdalil pada keumuman perintah sholat Jumat dalam Al-Qur'an (QS. Al-Jumu'ah: 9) dan hadis-hadis yang mengancam orang yang meninggalkan sholat Jumat tanpa udzur syar'i. Keringanan yang disebutkan dalam hadis Zaid bin Arqam dan Ibnu Umar dianggap berlaku hanya untuk kondisi atau golongan tertentu, seperti penduduk pedalaman (ahlul bawadi) yang datang ke kota untuk sholat Id dan akan kesulitan jika harus kembali lagi untuk sholat Jumat.
Mazhab Maliki:
Mazhab Maliki juga cenderung mewajibkan sholat Jumat. Imam Malik dalam Al-Muwatta' menyebutkan riwayat dari Atha bin Abi Rabah yang menyatakan bahwa Imam (pemimpin) melaksanakan sholat Id, kemudian memberikan rukhshah untuk Jumat. Namun, tetap dianjurkan untuk melaksanakan sholat Jumat.
Mazhab Hanbali:
Mazhab Hanbali (Imam Ahmad bin Hanbal) memiliki pandangan yang lebih longgar. Mereka berpendapat bahwa orang yang telah melaksanakan sholat Id diperbolehkan untuk tidak menghadiri sholat Jumat, baik bagi penduduk kota maupun pedesaan. Namun, jika tidak sholat Jumat, mereka tetap wajib melaksanakan sholat Zuhur sebagai pengganti. Dalil mereka adalah keumuman lafaz rukhshah dalam hadis-hadis di atas yang tidak membedakan antara penduduk kota dan desa. Meskipun demikian, mereka yang memilih untuk tetap sholat Jumat dinilai lebih utama.
Ada satu catatan menurut padangan Imam 'Atho' dalam kutipan kitab Bughyatul Mustarsyidin, halam 113. Dikatakan tidak ada kewajiban sholat Jumat maupun Dhuhur dan langsung sholat Ashar (tatkal sudah masuk waktunya).
Implikasi Praktis di Indonesia
Adapun dalam prakteknya selama ini di Indonesia, menilik dua organisasi Islam besar yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, keduanya cenderung memiliki pandangan yang sejalan dengan mayoritas ulama dari madzhab Syafii dan (jumhur) yang mewajibkan sholat Jumat.
Nahdlatul Ulama (NU):
Secara umum, NU berpendapat bahwa sholat Jumat tetap wajib dilaksanakan. Masjid-masjid tetap menyelenggarakan sholat Jumat seperti biasa. Bagi mereka yang memiliki udzur berat (misalnya sangat jauh dan tidak memungkinkan), mungkin ada keringanan, tetapi secara umum, kewajiban tetap ada.
Muhammadiyah:
Muhammadiyah juga cenderung berpandangan bahwa sholat Jumat tetap wajib. Namun, mereka juga mengakui adanya rukhshah bagi yang benar-benar tidak bisa, dengan tetap wajib menggantinya dengan sholat Zuhur. Dalam situasi pandemi atau kondisi khusus lainnya, kadang ada penekanan lebih lanjut pada penerapan rukhshah ini.
Kesimpulan
Pada intinya, ketika sholat Idul Adha bertepatan dengan hari Jumat, shalat Jumat tetap wajib dilaksanakan bagi mayoritas ulama dan menjadi praktik umum di banyak komunitas Muslim, termasuk di Indonesia. Keringanan untuk tidak sholat Jumat, yang disebutkan dalam beberapa hadis, umumnya dipahami sebagai rukhshah (dispensasi) bagi kondisi tertentu (misalnya, bagi musafir, atau penduduk di daerah pedalaman yang kesulitan untuk kembali ke kota untuk sholat Jumat), atau bagi mereka yang merasa berat dan telah melaksanakan sholat Id, dengan tetap diwajibkan menggantinya dengan sholat Dzuhur.
Namun, yang paling utama dan dianjurkan adalah tetap melaksanakan sholat Jumat bagi setiap Muslim yang memenuhi syarat, demi meraih keutamaan ibadah berjamaah dan syiar Islam di hari yang mulia tersebut. Imam Masjid dan panitia dianjurkan untuk melaksanakan sholat Jumat.
Penulis : Pegiat literasi dan kader muda NU Bondowoso
Komentar
Posting Komentar