Bikin " Horeg " Jagat Maya Usai Diharamkan
Teropongargopuro.blog.com: “Sound horeg”, namanya tidak sepopuler baru-baru ini. Pasalnya, sound dengan daya suara yang menggetarkan dada manusia dan dinding rumah, mulanya sebagai hiburan warga dan komunitas sound sistem. Berikutnya, seiring perkembangan waktu, berbagai modifikasi serta undangan pegiat sound, mulai muncul. Barulah, beragam respon masyarakat mulai muncul.
Sementara istilah sound horeg sendiri, populer merujuk pada sistem suara atau speaker dengan volume dan dentuman bass yang sangat keras. Dengan khas kekuatan suara yang ekstrem, dentuman bass yang dominan, dan sering kali diputar dalam volume maksimal, bagi kawula muda-mudi, ini sangat menghibur. Tentu dampaknya, positif dan negatif.
Fatwa haram melalui forum bahtsul masail yang diselenggarakan di Nganjuk tahun kemarin (2024). Dalam hal ini, Kyai Thohari Muslim sebagai perumusnya, belum mampu menggetarkan netizen. Baru untuk kedua kalinya, haramnya sound horeg kembali difatwakan. Tetap melalui forum bahtsul masail, yang diselenggarakan di Pasuruan. Kali ini, KH. Muhibbul Aman Aly bertindak sebagai perumusnya.
Tak pelak, fatwa haram yang kedua kalinya, bikin "horeg" jagat media sosial. Yang paling kencang suaranya, tentu mereka pengusaha sound. Ternyata, percikan kecil menolak fatwa haram, juga lahir dari pegiat dakwah (tidak perlu disebut namanya). Dengan entengnya, menurutnya fatwa bisa diobral kemana-mana.
Menakar dampak negatif dan positif
Dentuman keras fatwa "Haram" melalui forum bahtsul masail. Sebuah forum diskusi melalui literatur kitab fikih. Disampaikan oleh mereka para pakarnya (bukan sekedar omon-omon). Bahkan, Anda yang mahir baca kitab, belum tentu mampu untuk menjelaskan dan mengurai isi kitabnya. Maka, perlunya menimbang dampak buruk dan baiknya sound. Perlukah diharamkan?
Perlu diketahui, tingkat kebisingan diukur dalam desibel (dB) menurut ambang batas umum seperti berikut ini.
a. 60 dB. Percakapan biasa. Ini kategori aman.
b. 85 dB. Lalu lintas padat. Andaikan dengan paparan terus-menerus, dimungkinkan dapat bisa merusak pendengaran
c. 100 dB. Umum terjadi saat konser musik keras. Ada reiko rusak setelah 15 menit
d. 110 dB. Ini biasa pada sound horeg, klub malam. Ada resiko kerusakan bisa terjadi dalam beberapa menit
e. 120-130 dB. Dentuman bass sound horeg. Rentan kerusakan instan
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dalam hal kerasnya suara, menyarankan untuk tidak terpapar suara di atas 85 dB selama lebih dari 8 jam per hari. Mengingat sound horeg yang dinyalakan melebihi batas normal, dengan mencapai 110–130 dB, ini sangat beresiko merusak pendengaran jika dalam jarak dekat.
Disamping itu, dentuman "horeg" tidak hanya membawa petaka bagi pendengaran. Namun, bangunan sekitar yang dilalui berbagai suara sound yang diatas ambang batas, tidak sedikit yang ikut bergetar hingga berjatuhan sendiri. Terutama dinding kaca tipis.
Fatwa haram tidak hanya untuk sound horegnya. Pun demikian aktifitas yang mengelilinginya, seperti tarian dengan berjoget yang secara pandangan agama termasuk membuka aurat.
Lantas, yang kontra dengan fatwa tersebut menilai, hadirnya sound horeg bagian dari budaya kreatifitas yang perlu diberdayakan, naiknya ekonomi masyarakat dengan adanya gelaran pegiat sound horeg, ikut memeriahkan beragam kegiatan warga, dan lain sebagainya.
Jalan tengah harus ditempuh. Pemerintah yang harus mengambil sikap. Tetap memutuskan haram, namun tidak menutup bangkitnya ekonomi para pengusaha sound sistem dan lainnya. Bukankah, cita-cita baik di dunia dan akhirat adalah tujuan kita?
Penulis : Ghofur Hasbulloh
Komentar
Posting Komentar