Opini: Ironi "Negeri Ijazah": Ketika Kertas Lebih Berharga dari Kualitas
* Oleh : Luthfy Hidayatul Amri
Teropongargopuro.blog.com: Belakangan ini, hiruk-pikuk kasus ijazah palsu yang berujung pada meja hijau kembali menyeruak dan menjadi trending topic paling panas. Fenomena ini bukan sekadar insiden sesaat, melainkan sebuah cerminan buram dari realitas yang telah lama mengakar di Indonesia: kita adalah "negeri ijazah." Sebuah stigma yang menyiratkan bahwa selembar kertas berlegitimasi formal kerap kali dinilai lebih tinggi daripada kapasitas dan kompetensi nyata yang dimiliki seseorang.
Opini umum di masyarakat cenderung membenarkan bahwa di Indonesia, mereka yang tidak memiliki "cap" pendidikan formal, meskipun memiliki segudang keahlian dan pengalaman praktis, kerap harus "minggir" dari persaingan. Pintu-pintu kesempatan, terutama di sektor formal dan birokrasi, seolah tertutup rapat bagi mereka. Ironisnya, di sisi lain, individu yang memegang selembar ijazah—entah itu asli atau bahkan palsu—namun minim skill atau etos kerja, justru bisa "masuk" dan menduduki posisi strategis.
Paradigma ini menciptakan sebuah distorsi akut dalam sistem seleksi dan meritokrasi. Mengapa kita begitu terobsesi dengan ijazah? Jawabannya kompleks. Ijazah seringkali dianggap sebagai bukti minimal dari standar pengetahuan, disiplin, dan kemampuan untuk menyelesaikan suatu jenjang pendidikan. Bagi banyak institusi dan perusahaan, ini adalah saringan awal yang paling mudah dan cepat untuk menyaring calon kandidat. Namun, di tengah gempuran perubahan zaman dan tuntutan skill yang dinamis, ketergantungan pada ijazah semata justru menjadi bumerang.
Fenomena ijazah palsu adalah puncak gunung es dari masalah ini. Ketika validitas selembar kertas menjadi penentu utama nasib seseorang, godaan untuk mendapatkan legitimasi instan—sekalipun ilegal—menjadi sangat besar. Pertarungan antara ijazah asli dan palsu yang kini mencuat ke permukaan adalah alarm keras bagi kita semua. Ini bukan hanya tentang penipuan individu, melainkan tentang kerusakan sistem kepercayaan dan integritas yang lebih luas.
Kasus terpidananya oknum pemalsu atau pengguna ijazah palsu seharusnya menjadi momentum untuk berefleksi. Apakah kita akan terus membiarkan "kertas" mengalahkan "kualitas"? Apakah kita akan terus mengabaikan potensi luar biasa dari mereka yang belajar di "universitas kehidupan" dan mengasah skill mereka secara otodidak, hanya karena mereka tak berijazah?
Sudah saatnya kita bergerak melampaui fetish ijazah. Dunia kerja modern menuntut skill yang adaptif, kemampuan memecahkan masalah, kreativitas, dan kolaborasi. Banyak perusahaan global bahkan mulai memprioritaskan skill-based hiring daripada degree-based hiring. Indonesia perlu mengikuti jejak ini.
Pemerintah, institusi pendidikan, dan pelaku industri harus duduk bersama merumuskan ulang kriteria seleksi yang lebih holistik. Prioritaskan skill, pengalaman, portofolio, dan kemampuan adaptasi.
Mari kita hargai proses belajar sepanjang hayat, di mana pendidikan formal hanyalah salah satu jalurnya, bukan satu-satunya gerbang menuju kesuksesan.
Ijazah seharusnya menjadi pelengkap, bukan penentu tunggal. Kualitas sejati seseorang tercermin dari apa yang bisa ia kerjakan, dampak yang ia hasilkan, dan integritas yang ia pegang teguh, bukan dari selembar kertas semata. Jika tidak, "negeri ijazah" ini akan terus memproduksi paradoks: orang-orang berkapasitas terpinggirkan, sementara mereka yang berbekal legalitas semu justru merajalela, mengikis fondasi meritokrasi dan kepercayaan publik. Ini adalah ancaman nyata bagi kemajuan bangsa.
* Penulis adalah pegiat literasi dan kader muda NU Bondowoso
Komentar
Posting Komentar