Opini: Mengapa PBNU Sekarang lebih Masif "Diserang"?



*Oleh : Mamang A Hairuddin

Teropongargopuro.blog.com: Kira-kira demikian pertanyaan yang disampaikan kepada saya, terlebih terkait dengan situasi dan kondisi belakangan ini, setelah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dibuat uring-uringan oleh salah seorang Ketuanya yang dikedapatkan menjadi seorang Komisaris di PT Gag Nikel, salah satu dari banyak perusahaan tambang nikel yang bermasalah itu. Lebih-lebih yang jadi Komisaris bukan hanya seorang dua orang, melainkan banyak. Padahal kalau bukan elit organisasi, jauh kemungkinan bakal punya jabatan Komisaris. Lalu apa dan bagaimana jawaban saya? Jawabannya adalah buka mata lebar-lebar! 

Sekali lagi buka mata lebar-lebar! 

Saya akan berusaha menjawabnya dengan runut. Keliru besar kalau setiap orang, pihak atau warganet yang mengkritisi kebijakan PBNU dicap sebagai buzzer. Saya sendiri, terus terang, yang selama ini ikut mengkritisi setiap kebijakan PBNU yang melenceng dari khitah NU itu sendiri. Jangankan PBNU di era KH. Yahya Cholil Staquf ini, sejak era Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj pun saya banyak mengkritisi kebijakannya, tak terkecuali konsepsi soal Islam Nusantara (soal ini, saya telah berulang kali menuliskannya secara serius). 

Jangan sekali-kali memonopoli konsepsi tentang apa itu akhlak santri. Apalagi akhlak santri yang dimaksud itu harus ikut anggah-ungguh dan ewuh-pakewuh yang sama sekali kontraproduktif. Sudah saatnya warga Nahdliyin semakin terbuka menyuarakan kebenaran, apapun risikonya. Banyak di antara warga Nahdliyin maupun di luar Nahdliyin yang melayangkan kritik dengan tetap mengedepankan logika dan nurani, sama sekali tidak ada caci-maki atau ujaran kebencian. Fokus kritik itu pada kebijakan bukan pada personalnya. 

Bagaimana tidak diserang dan "dirujak", seorang Rais 'Am PBNU, pimpinan tertinggi di PBNU ikut terlibat dalam dukung-mendukung kontestasi Capres-cawapres. Belum lagi berbagai pernyataannya yang dianggap pro isu nasab Ba'lawi tanpa ada upaya serius penyelesaian dari PBNU (kalau dikaitkan dengan kisruh JATMAN/Habib Luthfi ini bisa semakin runyam). Bahkan masih jelas dalam ingatan, dalam sebuah sambutan atas nama Rais 'Am, sempat-sempatnya malah titip anggaran untuk Bendahara PBNU dalam setiap kegiatan PBNU, disampaikan dengan terbuka dan tanpa basa-basi di hadapan publik, yang juga disiarkan secara langsung (dan bisa ditonton ulang kapan saja di YouTube). 

Lebih-lebih Ketua Umum PBNU-nya sekarang. Selain juga terlibat dalam kontestasi Pilpres, juga secara berulang malah terus memuja-muji Pemerintah, tanpa diimbangi dengan kritik agar terlihat proporsional. Sesumbar berbagai program pemberdayaan (BUMNU, Kampung Nelayan, perkebunan sawit, dll), tata kelola organisasi sampai ke tingkat MWC dan Ranting juga lamban dilakukan, penerimaan terhadap konsensi tambang, buang-buang anggaran atas kegiatan halaqah fikih peradaban (termasuk seminar-seminar humanitarian Islam), membiarkan Ketua Umum PP Muslimat NU melanggengkan kekuasaan, membiarkan elit PBNU merangkap jabatan di sana-sini, sangat tidak empatik terhadap ekploitasi tambang nikel di Papua yang sekarang masih terus menyeruak dan masih banyak lagi. 

Bahkan belum lama ini, dalam debatnya dengan narasumber perwakilan dari Greenpeace dalam acara Rossi Kompas TV, narasumber PBNU terlihat jelas kelabakan dengan berbagai argumentasi komprehensif dari Greenpeace (antara fakta sosial, krisis iklim, riset, berbagai peraturan Pemerintah, dll). 

Apa yang diklaim sebagai kemajuan organisasi oleh sebagian kecil elit PBNU/PWNU misalnya bukanlah hal-hal yang substansial. Apa yang disebut sebagai dokumen Perkumpulan Organisasi, terus terang, ini pencapaian yang levelnya biasa saja, normatif-administratif yang sifatnya dinamis dalam perjalanan berorganisasi. Bukan sebuah pencapaian yang luar biasa. Apa yang diklaim sebagai digitalisasi organisasi oleh PBNU, sebetulnya masih dalam level kulit, belum menyentuh substansi inovasi digitalisasi.

Kaderisasi yang diklaim sebagai model yang terintegrasi (menyatukan MKNU dan PKPNU), justru dibuat semakin runyam, berbiaya mahal, lama, kaku dan tidak kontekstual. Dari sekian banyak kader yang telah ikut PD-PKPNU, ke depannya mau apa, agenda dan program konkretnya seperti apa, juga tidak jelas. Para peserta kaderisasi hanya disuruh duduk berjam-jam mendengarkan narasumber berceramah panjang lebar. Selain sebagian kecil lainnya hanya sekadar makan, tidur, shalat dan olahraga. Setelah kegiatan kaderisasi selesai, peserta hanya diberi tanda bukti sertifikat. Itu saja. Tak terkecuali aplikasi yang dinamai "Digdaya", alih-alih aplikasi serbaguna (digitalisasi ekonomi, digitalisasi dakwah, digitalisasi kekayaan organisasi, digitalisasi keuangan, dll), ternyata aplikasi persuratan an sich. Ini kemajuan yang sama sekali tidak substansial, yang ditorehkan sekali masa khidmat (hampir 5 tahun), sementara melalaikan program-program pemberdayaan yang lebih urgen dan mendesak yang diperlukan warga Nahdliyin di akar rumput. 

Kalau PBNU serius melaksanakan amanah organisasi selama 5 tahun, akan saya beri gambaran untuk bagaimana PBNU pantas diapresiasi. Misalnya PBNU berhasil mendirikan, jangan banyak-banyak, minimal 1 rumah sakit bertaraf nasional/internasional. Pendirian rumah sakit ini pun tanpa ada intervensi dan bantuan dana dari Pemerintah. Di bidang ekonomi, umpamanya telah mendirikan 1 pusat sembako di pusat dan separuh dari seluruh Provinsi yang ada se-Indonesia sebagai cabang-cabang dari pusat sembako yang berada di PBNU. Pendirian hotel syariah, pemakaman dengan konsep wakaf yang berkelas (untuk warga duafa dan kaya raya), dll, dengan menjadikan Lazisnu sebagai motor penggeraknya. 

Akhirnya, mari kita berorganisasi secara dewasa. Berorganisasi dengan mengedepankan logika, kritik dan fokus pada program-program pemberdayaan secara mandiri, tidak melulu mengandalkan Pemerintah. Organisasi berikut berbagai kebijakannya harus diputuskan secara kolektif-kolegial, bukan sekadar "nunut" kehendak pimpinan. Islam harus bisa diejawantahkan secara konkret dalam berbagai program pemberdayaan, bukan sekadar narasi kosong nan bombastis. Jangan hanya pandai mengkritik pihak/orang lain, sementara diam dan pura-pura tidak tahu manakala pimpinan dan para elitnya sendiri melenceng dari khitah organisasi.

Wallahu a'lam 
Penulis merupakan Khodim Pesantren Tahfidz Al-Quran Al-Insaaniyah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Luar Biasa! Sebagai Upaya besarkan Nama NU, Banser Kecamatan Pakem Dirikan Usaha Sekaligus Kantor

Membaca Peluang Koperasi Desa Merah Putih : Antara Harapan dan Kegagalan

MWC NU Pakem Bondowoso Bersama Banom Gelar Rutinan Perdana di Desa Tertinggi Wilayahnya